MENU
OPINI  

Permintaan Terakhir Sang Sultan Dompu Oleh Faisal Mawa’ataho

Pejuangmuda.com – Ketika Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan keputusan mengasingkan Sultan Muhammad Sirajuddin dan kedua puteranya ke Kota Kupang pada tahun 1934. Kepergian mereka diantar oleh para Pejabat dan rakyat Kesultanan Dompu sampai di Pelabuhan Sape. Selain kedua puteranya Abdul Wahab Sirajuddin (Ruma To’i) dan Abdullah Sirajuddin (Ruma Goa), ikut serta pula pelayannya yang setia bernama Abdurrahman Habe, Ina Laru – salah satu selir Sultan Sirajuddin, dan La Ria – seorang dayang istana.

Kedatangan “Kapal Putih” milik Belanda yang mengangkut rombongan Sultan Dompu pun tiba di Pelabuhan Kerajaan Kupang. Mereka disambut langsung oleh Raja Kupang Nicolas Nicynoi. Serah terima berlangsung secara resmi melalui sebuah upacara serah terima tawanan kepada Raja Kupang. Sultan Sirajuddin dititipkan kepada Raja Kupang dan beliau diperlakukan secara baik dan terhormat.

Setelah selama dua atau tiga bulan tinggal di kompleks istana Kupang, akhirnya Sultan Sirajuddin dan anak-anaknya dipindahkan ke sebuah rumah sewaan di Kampung Air Mata, Kupang. Rumah itu milik seorang warga muslim keturunan Arab. Setelah dua tahun menetap di rumah tersebut, beliau dipindahkan lagi ke sebuah rumah sewaan milik seorang Tionghoa berjarak 100 m dari rumah sebelumnya. Di sinilah Sang Sultan Yang terbuang menghabiskan sisa umurnya dengan mendekatkan diri pada Allah. Setiap hari beliau melaksanakan shalat berjamaah dengan warga sekitar di Masjid Baitul Qadim dekat tempat tinggalnya.

Setelah hampir tiga tahun dibuang di Kerajaan Kupang oleh Belanda, Sultan yang telah tua akhirnya sakit-sakitan. Selama sakitnya, selir, anak-anaknya dan dua pelayannya sangat setia menemani dan merawat beliau. Hingga suatu hari beliau menginginkan hidangan yang dahulu sering beliau santap sewaktu masih menjadi Raja di Dompu. Beliau ingin sekali makan ‘‘Doco dumu loa’ yang dicampur ikan teri.

Mungkin bagi anda yang membaca, akan mengerutkan dahi mendengar nama makanan ini. Namun bagi lidah orang Dompu dahulu, ‘doco dumu loa adalah makanan istimewa yang menggugah selera makan. Wajar jika di akhir hayatnya, Sultan Sirajuddin sangat menginginkanya. Sebagai pelipur hati yang pilu karena jauh dari sanak saudara dan kampung halaman. Sebagai pengobat rindu akan alam tempatnya lahir, tumbuh dan besar. Di sana ibu-bapaknya dimakamkan, ia tak bisa berziarah pada mereka. Di sana ia pernah jadi orang nomor satu yang dihormati dengan segala penghormatan.

Namun memenuhi keinginan terakhir Sultan Sirajuddin ini tidaklah mudah. Entah karena memang tidak ada atau karena tidak tahu tempat mencarinya, anak-anak dan para pelayannya tidak dapat menemukan bahan-bahan untuk membuat makanan yang dimaksud. Karena begitu sulitnya mendapatkan makanan semacam itu di tanah orang, akhirnya terpaksa dikirim kabar kepada keluarga Sultan di Dompu agar mengirimkan makanan yang dimaksud. Setelah mendapat kabar tersebut, keluarga beliau di Dompu pun dengan segera mencari dan mengirimkan makanan yang diminta oleh sang sultan.

Namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Sultan Sirajuddin pun wafat tanpa sempat menyaksikan lagi makanan yang diidamkannya itu, ‘Doco dumu loa. Pada tanggal 14 Februari 1937, beliau menghembuskan nafas yang terakhir di Kampung Air Mata, Kerajaan Kupang, pada usia 89 tahun. Oleh sebab itu rakyat Kerajaan Dompu menggelarinya Sangaji Manuru Kupa, Raja yang mangkat di Kupang.

Hidup di tangan Allah, manusia bisa mati kapan saja. Yang tua bisa mati, yang muda juga bisa mati. Maka jangan lalai oleh usia mudamu. Bisa jadi esok atau lusa engkau binasa. Maka beribadahlah kepada-Nya, sembahlah Ia. Mohon ampunlah atas dosa-dosamu yang lalu dan berbuat baiklah di sisa umurmu itu. Karena engkau tak tahu kapan engkau akan dikembalikan pada-Nya. Engkau milik-Nya dan akan Ia ambil kembali juga. Sehebat apapun manusia, tetaplah ia lemah di banding kekuasaan Tuhannya, Allah subhanahu wa ta’aala yang Maha Esa.

Konemu dese ra ntasa dei mori kai di ade dunia, mumbalimpa di dana makaja’e sampu. Malanta la’ba di dula la’bo. Rawi taho di masandaka ndaita, rawi iha dimarundu tau dei anaraka. Aina sombo ba na’e ra ntoru londo ra mai, di tandona Ruma sama riu rata. Tiwara Ruma tiwara ada, tiwara sangaji tiwara ela. Madese ro ntasa ededu dou ma taqwa. Makalampana samenana Sare’at Islam.

***

Setelah Sultan Muhammad Sirajuddin meninggal pada 1937, tiga tahun setelah pembuangannya, kedua anaknya behasil kembali ke Dompu setelah sebelumnya melalui Makassar. Abdul Wahab Sirajuddin kembali ke Dompu dan meninggal di sana. Keluarga Kesultanan Dompu akhirnya menuntut dikembalikannya kedaulatan dan kekuasaan Kesultanan Dompu yang terenggut sejak dibuangnya Sultan Sirajuddin. Akhirnya tahun 1947 usaha tersebut berhasil dan putera Abdul Wahab diangkat sebagai Sultan Dompu yang baru. Beliau adalah Sultan Muhammad Tajul Arifin Sirajuddin, Raja dan Sultan Dompu yang terakhir. Sedangkan Abdullah Sirajuddin memilih menghindar ke Sumbawa bersama keluarganya.

Pelayan yang setia, Abdurrahman La Habe, memilih sehidup semati bersama Rajanya. Ia ingin mati di Bumi mana rajanya mati. Itulah inti dari kesetiaan yang ia miliki. Ia tak pernah kembali ke kampungnya meskipun ia punya banyak waktu untuk pulang. Ia bertekad menemani Sultan Sirajuddin sampai mati. Ia kemudian menikah dengan seorang keturunan bangsawan bugis bernama Gamyniko Thalib. Di kalangan keluarganya di Dompu, wanita ini dipanggil “Mama Kupang.” La Habe dan Mama Kupang dikaruniai lima orang anak.

Adapun Ina Laru dan La Ria, mereka memilih kembali ke Dompu setelah wafatnya Sultan Sirajuddin. Ina Laru, sang selir itu, di masa tuanya tinggal sebatang kara di Kampung Rato, di tepi Sungai Sori Laju. Orang mengenalnya sebagai Wa’i Laru. Ia terus hidup hingga batas usia yang ditentukan Allah untuknya untuk menceritakan kisah ini. (Uma Seo)

Penulis: Faisal Mawa’ataho